Sabtu, 29 Januari 2011

Pengembangan Daerah Wisata Potensial di DI Yogyakarta


Pendahuluan

Dewasa ini, pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia. Saat ini popularitas industri pariwisata telah menjamur ke berbagai pelosok negeri di seluruh dunia. Di beberapa negara, industri pariwisata dijadikan indusri yang bisa diandalkan dalam berbagai sektor. Hal ini dikarenakan banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari dunia pariwisata. Industri pariwisata tidak hanya memberikan foreign exchange sebagai penambah devisa negara, tetapi juga membuka lapangan kerja yang luas bagi beragam lapisan masyarakat. Aspek inilah yang menjadikan industri pariwisata sebagai salah satu sektor yang perlu diterapkan di Indonesia, di mana angka pengangguran masih mencapai nominal yang tinggi. Selain membuka lapangan pekerjaaan bagi masyarakat luas, industri pariwisata juga bisa dijadikan sebagai alat untuk pemerataan pembangunan di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Pembangunan tidak hanya ditujukan di kota-kota besar tetapi juga daerah-daerah pinggiran dan terpencil.
Dibukanya tempat wisata di tiap-tiap daerah di Indonesia, dapat dijadikan sarana bagi masyarakat dalam menghargai perbedaan adat dan budaya masing-masing. Pembangunan industri pariwisata juga membuka pintu gerbang masyarakat untuk lebih mengenal lebih dekat keragaman daerah masing-masing sehingga dapat menambah dan memperkuat rasa tenggang rasa dan pengertian antar sesama. Dengan kata lain, industri pariwisata dapat dijadikan pintu pemersatu bangsa.
Akan tetapi, dunia pariwisata Indonesia sedang mengalami cobaan yang cukup berat. Teror di sejumlah tempat yang secara frontal mengancam sektor pariwisata belum juga terselesaikan. Akibatnya, dunia pariwisata menjadi lesu karena wisatawan yang berkunjung ke obyek-obyek wisata agak berkurang. Jumlah pengunjung yang berkurang ini membawa efek samping secara berantai mulai dari merosotnya keuntungan sektor bisnis perjalanan wisata, sektor perhotelan, rumah makan, perdagangan, pendapatan asli daerah, dan pada pada akhirnya jumlah pengangguran akan semakin bertambah.
Harus diakui bahwa Indonesia semakin tertinggal dalam persaingan pariwisata di kawasan ASEAN dibanding Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal, Indonesia demikian kaya dengan aneka ragam budaya dan alam yang indah dan memukau.

Pada artikel ilmiah ini, penulis akan membahas aspek manajemen yang dapat meningkatkan kepariwisataan kota Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi, kesempatan dan peluang  untuk mengembangkan program wisata, baik yang sudah di garap, yang belum di garap, yang sudah berkembang maupun yang belum berkembang. Disisi lain pengembangan daerah wisata merupakan peluang untuk mengisi kesempatan kerja maupun peluang kesempatan berusaha bagi masyarakat. Potensi wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi wisata pantai, alam, gunung, agrobisnis, sejarah, budaya seni dan wisata pendidikan yang diantaranya dapat untuk dapat menyalurkan potensi masyarakat. Selanjutnya, disadari bahwa untuk pengembangan program wisata merupakan tantangan guna memenuhi tuntutan pasar.
 Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini adalah agar memperluas pengetahuan tentang kepariwisataan di Kota Yogyakarta, dan agar penulis dapat menganalisis permasalahan apa saja yang menjadi kendala bagi kepriwisataan di Kota Yogyakarta dan aspek manajemen seperti apa yang dapat mengatasi permasalahan tersebut dan meningkatkan kepariwisataan di Kota Yogyakarta. Manfaat yang didapat bagi masyarakat, dengan adanya artikel ilmiah ini, wawasan masyarakat akan menjadi lebih terbuka dengan permasalahan pariwisata yang ada di Kota Yogyakarta. Dapat membantu mengenalkan kepada masyarakat seperti apa objek pariwisata yang dapat dikunjungi di Kota Yogyakarta. Dan dapat menyadarkan peran masyarakat dalam mengembangkan pariwisata.
Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah ini adalah library research. Yaitu mencari dan mengumpulkan data-data kepustakaan mengambil keterangan dan teori-teori dari buku-buku maupun dari internet yang membantu penyusunan artikel ilmiah ini.



Isi


Yogyakarta adalah tempat obyek wisata yang tidak asing lagi dimata orang ataupun di berbagai manca Negara. Disana banyak berbagai tempat-tempat obyek pariwisata yang sangat penting, bersejarah dan mempunyai keunikan tersendiri dan cirri khasnya masing-masing. Tempat-tempat obyek pariwisata tersebut misalnya : Candi Borobudur, Candi Prambanan, Monumen Jogja Kembali (Monjali), Keraton Yogyakarta, Malioboro, Kebun Binatang Gembira Loka, dan lain-lain.
Pada saat ini, DI Yogyakarta sedang dalam masa pemulihan terkait dengan bencana-bencana yang melanda sebagian besar Kota DI Yogyakarta. Seperti meletusnya Gunung Merapi dan sering terjadi gempa-gempa kecil. Perlu strategi yang lebih dalam agar mampu menarik wisatawan seperti sediakala.

Otonomi yang dilakukan di negara kita akan mendorong setiap daerah untuk mengekploitasi sumber-sumber pendapatan daerahnya semaksimal mungkin. Hal ini juga dilakukan oleh  Yogyakarta. Terdapat empat potensi daerah yang cukup menarik untuk terus dikembangkan.
            Pertama, Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Sebutan Yogyakarta sebagai kota pendidikan mengacu pada jumlah lembaga pendidikan dan kualitas pendidikan di Yogyakarta. Tidak terhitung jumlah lembaga pendidikan mulai pendidikan pra-sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Kualitas lulusannya pun telah mendapat pengakuan berbagai pihak. Potensi Yogyakarta sebagai kota pendidikan ini menyebabkan banyak sekali generasi muda dari berbagai daerah yang ingin meneruskan pendidikannya di Yogyakarta terutama pendidikan menengah (SMU/SMK) dan pendidikan tinggi. Kedatangan para pelajar dan mahasiswa tersebut tentu saja memunculkan kegiatan bisnis seperti  rumah makan, tempat tinggal, perdagangan buku, rental, alat-alat kost, dan tempat hiburan. Jika terkelola dengan baik, predikat kota pendidikan akan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk Yogyakarta.
            Kedua, Yogyakarta sebagai kota budaya. Predikat kota budaya yang diberikan pada Yogyakarta mengacu pada keberadaan Kraton Yogyakarta yang dipandang sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di samping itu banyak sekali budayawan dan sastrawan yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Predikat kota budaya juga didukung oleh berbagai kegiatan kebudayaan seperti sekatenan dan labuhan. Potensi-potensi budaya ini jika dikelola dengan baik akan menjadi aset pariwisata yang cukup handal dan mampu menarik wisatawan untuk datang ke Yogyakarta.
            Ketiga, Yogyakarta sebagai kota pariwisata. Predikat kota pariwisata diberikan pada Yogyakarta karena sudah lama kota Yogyakarta menjadi daerah tujuan pariwisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Hampir setiap hari terutama pada saat musim liburan, banyak sekali wisatawan yang mengunjungi Prambanan, Kraton, Pantai Parangtritis, dan Malioboro untuk melakukan perjalanan wisata baik wisata umum maupun studi wisata. Jika predikat kota pariwisata ini tetap dipertahankan dan ditambah lagi dengan penyempurnaan berbagai sektor pariwisata, dapat dipastikan bahwa Yogyakarta akan mampu bersaing dengan daerah-daerah lain dalam upaya pembagunan daerah.
Keempat, Yogyakarta sebagai kota perjuangan. Predikat kota perjuangan diberikan pada Yogyakarta dengan mengacu pada berbagai peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang terjadi di Yogyakarta. Sejumlah peristiwa sejarah pada akhirnya meninggalkan kenangan berupa tempat-tempat bersejarah, museum perjuangan, rute perjalanan gerilya, dan makam para pahlawan. Jika aset ini bisa dikelola dengan baik, Yogyakarta dapat menjadikan peninggalan-peninggalan itu sebagai sarana pengembangan Yogyakarta terutama untuk pengembangan sektor pariwisata.
Pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Yogyakarta membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Pengaruh tersebut langsung menyentuh pada identitas dasar masyarakat, yaitu sisi kebudayaan. Secara perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat terpengaruh oleh kebudayaan pendatang yang mereka anggap lebih maju. Kebudayaan pendatang tersebut bukan saja berasal dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan asing, melainkan juga dari dalam negeri yang dibawa oleh wisatawan dalam negeri maupun para pelajar dari berbagai daerah.
Menurut Soedjatmoko (1988:44) perkembangan modernisasi yang seperti itu membawa masalah tersendiri ketika masyarakat telah kehilangan nilai-nilai lama dan cara lama sementara nilai lama dan cara baru belum mencapai kristalisasinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas kepribadian dalam diri masyarakat.
Dalam kaitannya dengan perkembangan modernisasi di Yogyakarta, apabila tidak segera mendapat respon, dapat dimungkinkan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat terutama penduduk asli Yogyakarta yang selama bertahun-tahun memegang teguh nilai-nilai kebudayaan tradisional.. Derasnya pengaruh luar  baik kebudayaan asing maupun kebudayaan daerah lain akan menimbulkan tranformasi budaya yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi-generasi yang multikultur.
Upaya pelestarian kebudayaan ini menjadi sangat penting untuk dilakukan karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa  para wisatawan sangat tertarik dengan bidang budaya. Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indicator :
Pertama, banyaknya wisatawan dan para pelajar yang melakukan studi wisata yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Sementara itu keinginan para pelajar untuk melakukan studi wisata di Yogyakarta sedikit banyak didasari oleh informasi dalam pembelajaran di mana Kraton Yogyakara merupakan bagian dari sejarah kerajaan yang sampai sekarang masih eksis keberadaannya.
Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Benda-benda khas yang mencerminkan kebudayaan Jawa seperti keris, kain batik, blangkon, kuda kepang sangat digemari oleh para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara. Ketertarikan untuk membeli ini kemungkinan besar dilandasi oleh keingintahuan lebih lanjut akan kebudayaan Jawa.
Berhubung sektor kebudayaan merupakan sektor yang sangat penting dalam pengembangan pariwisata di Yogyakarta, penyelamatan dan pelestarian budaya lokal perlu dilakukan. Jika penyelamatan dan pelestarian budaya lokal ini dapat dilakukan, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan pariwisata budaya seperti Bali, Korea, Cina,  dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pembangunan sarana dan prasarana fisik, lama kelamaan para wisatawan akan bosan untuk berkunjung ke Yogyakarta.
Permasalahan muncul ketika pembangunan sektor pariwisata sedikit demi sedikit mengancam eksistensi dan kelestarian budaya lokal. Secara perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat akan mengadopsi budaya yang lebih modern yang berasal dari luar budayanya sendiri. Hal itu menimbulkan masalah tersendiri. Kebanyakan wisatawan datang ke Yogyakarta bukan pertama-tama untuk menikmati suasana modern, melainkan justru untuk mengenal dan menikmati suasana dan kebudayaan lokal.  Jika yang dicari adalah suasana modern, kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Batam menyediakannya. Maka, jika secara perlahan-lahan kebudayaan lokal tergeser, dapat dipastikan bahwa lama kelamaan Yogyakarta akan kehilangan aset untuk ditawarkan pada para wisatawan. Tak ada lagi kekhasan Yogyakarta yang dapat dikedepankan untuk menarik wisatawan.
Permasalahan pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian budaya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan pariwisata yang berorientasi pada pelestarian budaya.

Solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya :

Pertama meggalakkan kembali berbagai festifal kebudayaan lokal.
Seperti diketahui, Yogyakarta memiliki berbagai kegiatan kebudayaan lokal seperti kirab pusaka Tunggul Wulung di kecamatan Minggir, ritual bekakak di kecamatan Gamping, dan sekatenan di Alun-alun Utara. Jika dikemas secara baik dalam bentuk festifal kebudayaan, bentuk-bentuk kegiatan kebudayaan lokal tersebut akan menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pada satu sisi festifal tersebut memiliki nilai komersiil untuk pariwisata dan pada sisi lain memiliki nilai pelestarian kebudayaan. Masyarakat akan bersemangat lagi untuk menggali potensi kebudayaan setempat seperti upacara wiwitan (memulai panen), jatilan, tayub, dolanan, dan potensi industri setempat untuk diikutsertakan dalam festifal tersebut. Para sesepuh masyarakat akan berusaha menggali kembali identitas budaya setempat untuk diwariskan pada generasi muda, dan generasi muda memiliki media untuk mengekspresikannya dalam festifal tersebut.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pihak-pihak terkait untuk menggalakkan kembali festifal kebudayaan lokal. Salah atu di antaranya adalah dengan mengalokasikan anggaran promosi pariwisata untuk festifal-festifal tersebut. Anggaran promosi pariwisata tersebut sebenarnya hanya sebagai sarana pemicu untuk menggali sumber dana lain seperti swadaya masyarakat, sponsor, dan para donatur. Jika tersedia anggaran rutin untuk kegiatan semacam itu, dapat diyakini bahwa festifal kebudayaan lokal akan berjalan secara rutin. Cara lain adalah dengan menjadwalkan peristiwa-peristiwa tersebut dalam agenda pariwisata daerah. Kegiatan yang teragendakan dengan baik akan memberikan jaminan bahwa sebuah festifal kebudayaan tidak akan kekurangan pengunjung. Antusiasme pengunjung akan memberikan semangat tersendiri bagi penduduk setempat untuk lebih bekerja keras lagi dalam menyajikan potensi kebudayaan daerahnya sendiri. Jika sudah demikian, sektor pariwisata dapat berkembang dengan baik dan kebudayaan setempat dapat tetap terpelihara.
Kedua, perlunya pemetaan tata ruang pariwisata.
Jika kita memperhatikan permasalahan pariwisata di Yogyakarta, dapat diketahui bahwa akar permasalahan krisis kebudayaan terjadi karena kurang tertatanya ruang pariwisata di Yogyakarta. Kawasan Kraton (alun-alun utara) yang dijadikan areal parkir bus-bus pariwisata mengakibatkan lingkungan kraton tereduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi menampakkan kekhasannya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Komplek perbelanjaan souvenir yang diletakkan bersebelahan dengan kraton sedikit demi sedikit menghilangkan sikap dasar orang berbudaya Jawa yang dikenal sebagai orang yang ramah dan tanpa pamrih. Gudeg Plengkung Wijilan menjadi terkesan terpinggirkan karena penataan letak yang kurang baik sehingga dalam perkembangan selanjutnya kawasan plengkung wijilan tidak terjamah oleh para wisatawan.
Jika tata ruang pariwisata tersebut tidak segera dibenahi, pelestarian kebudayaan lama kelamaan akan terkorbankan demi kepentingan finansial pariwisata. Dan pada akhirnya, kegiatan kepariwisataan di Yogyakarta akan kehilangan identitas dasarnya sebagai pariwisata yang mengandalkan diri pada potensi kebudayaan. Oleh sebab itu, pihak-pihak terkait perlu segera merumuskan pemetaan  tata ruang pariwisata. Jika tata ruang pariwisata dapat dipetakan dengan matang, sektor pariwisata akan berkembang dengan baik dan kebudayaan lokal tetap dapat terjaga.
Ketiga, perlu dicantumkannya pendidikan kebudayaan dalam kurikulum pendidikan di Yogyakarta.
Masalah krisis kebudayaan di Yogyakarta ini di samping merupakan efek modernisasi juga dipengaruhi oleh mentalitas generasi mudanya. Generasi muda Yogyakarta lebih senang mempelajari kebudayaan-kebudayaan asing daripada kebudayaannya sendiri. Jika hal itu berlangsung terus menerus dapat dimungkinkan terjadi generasi yang antipati terhadap budaya nenek moyangnya sendiri.
Keempat, perlunya revitalisasi kraton sebagai pusat kebudayaan.
Sebagian besar orang berkeyakinan bahwa kraton merupakan pusat kebudayaan. Sebagai pusat kebudayaan, banyak sekali tugas yang diemban oleh kraton, termasuk memelihara keluhuran budaya warisan nenek moyang. Akhir-akhir ini karena perkembangan zaman dan kepentingan pariwisata, kawasan kraton cenderung diperlakukan sebagai obyek wisata berkategori museum. Pengunjung yang datang ke kraton dan pagelaran lebih banyak disuguhi benda-benda peninggalan sejarah beserta penjelasan terperinci dari para pemandu wisata.
Jika hal tersebut berlangsung secara terus menerus, fungsi kraton sebagai pusat kebudayaan akan hilang. Jika fungsi tersebut hilang, tidak ada lagi lembaga masyarakat yang bertugas menjaga kelestarian dan keluhuran kebudayaan nenek moyang. Jika hal tersebut terjadi, lama kelamaan kebudayaan local akan hilang dan hanya bisa ditemukan sebagai sebuah prasasti di museum. Dan jika hal itu terjadi, pada dasarnya kebudayaan telah mati karena tidak lagi dimiliki oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan revitalisasi kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan. Kegiatan-kegiatan kebudayaan, pemasyarakatan kebudayaan, penggalian kembali kebudayaan, dan berbagai kegiatan pendukung perlu dipelopori oleh kraton. Dengan demikian, fungsi kraton bukan sekedar sebagai prasasti kebudayaan melainkan lebih sebagai pelaku kebudayaan yang memiliki tanggung jawab utama dalam memelihara nilai-nilai luhur budaya lokal.
Kelima,  pembentukan tim pemantau pengembangan pariwisata.
 Pada akhirnya, ketika kita dihadapkan pada penataan berbagai kepentingan, diperlukan adanya tim yang bertugas melakukan pemantauan atas pengembangan pariwisata di Yogyakarta. Tim pemantau ini bertugas untuk menciptakan keselarasan pembangunan pariwisata di Yogyakarta agar berbagai kepentingan dapat terakomodasikan tanpa ada yang dirugikan. Kepentingan pelestarian kebudayaan akan terkesan sia-sia jika harus mengorbankan kepentingan ekonomis masyarakat. Kepentingan pariwisata akan merugikan jika harus mengorbankan kepentingan pelstarian budaya dan pendidikan. Karena menyangkut berbagai kepentingan, sebaiknya tim ini berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk di dalamnya para pelaku kebudayaan (budayawan dan para sesepuh). Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan lebih obyektif.

Beberapa contoh permasalahan yang terjadi di tempat-tempat pariwisata Kota Yogyakarta, diantaranya :
·         Kebun Binatang Gembira Loka
Kebun Binatang GEMBIRA LOKA
Kebun Binatang Gembira Loka terletak di bagian timur kota yogyakarta. Tempat ini merupakan tempat rekreasi dan pendidikan keluarga dengan fasilitas kebun binatang yang mempunyai koleksi 192 jenis binatang, koleksi 200 tanaman, 20 unit aquarium air tawar dan laut, taman rekreasi dengan tidak kurang dari 10 jenis alat permainan seperti perahu dayung, becak air, komedi putar, kereta mini, dan lain-lain. pada hari- hari besar, KRKB gembira loka menyelengarakan panggung gembira untuk menghibur pengunjung.
Dalam obyek wisata ini, ada beberapa permasalahan yang perlu diatasi :

Ø  Jumlah pengunjung Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka yang mengalami peningkatan 100 persen lebih pada libur Tahun Baru 2011 menyebabkan kemacetan panjang kendaraan di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta, Sabtu. Kemacetan akibat mem-bludak-nya pengunjung, baik yang menggunakan sepeda motor, mobil atau dengan bus pariwisata sudah terlihat dari dua arah yaitu dari sisi timur dan sisi barat pintu masuk kebun raya dan kebun binatang (KRKB) itu.
Dari sisi timur, kemacetan mulai terlihat dari simpang empat Gondokusuman, sedang dari arah barat kemacetan sudah terlihat dari simpang tiga selatan Balai Kota Yogyakarta.
Manajer Marketing dan Pengembangan Kebun Raya dan Kebun Binatang Gembira Loka Dyah Tjondrokusumaningrum mengatakan, tidak menetapkan target jumlah kunjungan wisatawan ke kebun binatang tersebut selama libur akhir tahun.

Ø  Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta mengalami kekurangan dana karena tidak banyak pengunjung yang datang. Akibat minimnya dana itu, Gembira Loka menghentikan penangkaran satwa langka jenis komodo (veranus comodoensis). Untuk menangkarkan komodo di luar habibatnya, Gembira Loka, telah mengeluarkan dana yang cukup besar. Karena koleksi komodo di kebun binatang itu sudah terlalu banyak, namun kandang yang tersedia sangat terbatas maka kegiatan itu dihentikan. Selain karena masalah tingginya biaya, komodo di Gembira Loka juga sudah cukup banyak sementara binatang ini tidak lagi menarik pengunjung. Namun apabila penangkaran tetap dilanjutkan, akan merepotkan pengelola karena diperlukan dana yang besar.
Seharusnya pemerintah masih memberikan izin untuk melakukan pertukaran jenis binatang langka dengan kebun binatang lain baik di dalam maupun di luar negeri.

Meski niat mulia Kebun Binatang adalah melestarikan hewan-hewan itu tapi bukankah dengan mempertontonkan mereka kepada manusia bukankah itu bentuk eksploitasi juga? Terlebih mereka tidak dibiarkan hidup bebas sebagaimana layaknya mereka hidup di habitat aslinya? Apalah artinya hidup yang seperti itu bagai di sangkar emas tapi kebebasan terenggut bagai di penjara?
Mengapa semua konsep Kebun Binatang tidak dirubah saja seperti konsep Taman Safari saja? Bukankah dengan seperti di Taman Safari kita tidak mengurungnya seperti dalam sangkar-sangkar emas? Karena di Taman Safari konsepnya berbeda. Mereka, hewan itu tetap dibiarkan bebas mirip seperti di habitat aslinya. Sementara kita yang melihatnya seperti dikurung karena harus melihatnya dari kejauhan atau lewat mobil yang tertutup untuk sekedar melihatnya. Bukankah ini jauh lebih adil dan manusiawi buat mereka meskipun dia bukan manusia? Atau karena dia hanya seekor hewan, bukan manusia, makanya sudah amat pantas diperlakukan seperti itu?

Ø  Gembira Loka didirikan memang tidak untuk bisnis, karena saat itu para pendirinya yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII (Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) hanya ingin menyediakan taman rekreasi yang murah serta menyenangkan warga masyarakat, tanpa ada tujuan bisnis. Hanya dengan payung hukum berupa yayasan, Gembira Loka kesulitan untuk mengembangkan diri, karena tidak memiliki badan usaha yang berbadan hukum. Kemampuan pengelola saat ini sangat terbatas untuk keperluan pengembangannya, karena hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket.
Seharusnya Kebun Binatang Gembira Loka dikelola badan usaha yang berbadan hukum, agar bisa menggandeng investor guna mengembangkan kebun binatang ini.

Ø  Beberapa tahun lalu muncul wacana Kebun Binatang Gembira Loka perlu dipindah ke lokasi lain). Lokasi saat ini dekat dengan pemukiman penduduk sehingga menciptakan lingkungan yang kurang sehat, terutama dampak dari limbah kotoran binatang.
Relokasi bukan sekadar dipindahkan ke tempat lain, tetapi sarana dan prasarana pendukungnya harus disiapkan. Misalnya, jalan menuju lokasi dari jalan utama, kondisinya harus baik. Sarana angkutan umum dan infrastruktur lainnya juga harus tersedia. Sisi positifnya Gembira Loka yang memiliki koleksi tanaman langka sangat membantu dalam mengurai dampak pencemaran yang berasal dari emisi kendaraan bermotor maupun pabrik, di samping memasok kebutuhan oksigen bagi kota

·         Candi Prambanan
Di satu sisi termasuk Provinsi Jawa Tengah, sedang bagian lain berada di DI Yogyakarta. menjadi ”sengketa” antara sejumlah daerah otonomi. Saat ini Daerah pada umumnya lebih mementingkan pariwisata sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan retribusi, ketimbang menghiraukan bagaimana suatu destinasi patut dikelola secara profesional agar mampu memuaskan wisatawan dan berdaya saing global.
Dengan demikian, ditinjau dari aspek manajemen nasional, pada hakikatnya pengelolaan pariwisata ini sekarang telah terfragmentasi menjadi unit-unit otonom, yang menghasilkan pelayanan yang tidak konsisten, dengan mutu yang semakin merosot, dan kurang terjaminnya kenyamanan dan keselamatan wisatawan internasional maupun wisatawan Indonesia sendiri. Dalam hal ini, merupakan tugas pemerintah bersama DPR untuk merekatkan kembali ratusan unit-unit pengelola pariwisata ini menjadi satu daerah tujuan wisata nasional yang utuh bernama ”Indonesia”, yang mampu bersaing di kancah internasional.

Simpulan

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki potensi, kesempatan dan peluang  untuk mengembangkan program wisata, baik yang sudah di garap, yang belum di garap, yang sudah berkembang maupun yang belum berkembang. Terdapat empat potensi daerah yang cukup menarik untuk terus dikembangkan :
Pertama, Yogyakarta sebagai kota pendidikan.
Kedua, Yogyakarta sebagai kota budaya.
Ketiga, Yogyakarta sebagai kota pariwisata.
Keempat, Yogyakarta sebagai kota perjuangan.
Solusi Pengembangan Pariwisata Berorientasi Pelestarian Budaya :
Pertama meggalakkan kembali berbagai festifal kebudayaan lokal.
Kedua, perlunya pemetaan tata ruang pariwisata.
Ketiga, perlu dicantumkannya pendidikan kebudayaan dalam kurikulum pendidikan di Yogyakarta.
Keempat, perlunya revitalisasi kraton sebagai pusat kebudayaan.
Kelima,  pembentukan tim pemantau pengembangan pariwisata.

Kepariwisataan di DI Yogyakarta harus lebih memerhatikan dan mengembangkan  potensi yang terdapat di tiap-tiap obyek wisata. Dan dengan menerapkan aspek manajemen yang baik dan terarah, kepariwisataan DI Yogyakarta akan bangkit dari kejatuhan yang dialami sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar